Generasi Z di Indonesia sedang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Apakah stereotip atau ketidaksesuaian skill yang menjadi penyebabnya?

INFOLOKERLAMPUNG.ID,   Meskipun lulus dari universitas ternama di Indonesia dengan gelar master dalam hubungan internasional, Indira Cader, 25 tahun, merasa pasar kerja "sangat sulit".

"Saya sudah punya pengalaman kerja sebelumnya dan gelar master, tapi saya juga masih kesulitan mencari pekerjaan," katanya.

Setelah berbulan-bulan mencari pekerjaan, Indira hanya memperoleh sedikit atau bahkan tidak memperoleh keberhasilan sama sekali, sebuah tantangan yang juga dihadapi banyak anak muda lainnya di Indonesia.

Karena Indonesia bertekad untuk menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2045 — sebuah visi yang dijuluki "Indonesia Emas" — ada tekanan yang signifikan terhadap kaum muda untuk mendorong perekonomian negara ini maju dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.

Namun, survei nasional baru-baru ini menemukan bahwa hampir 10 juta anak muda Indonesia tidak bekerja, tidak mengikuti pelatihan, dan tidak menempuh pendidikan. 

Tingkat pengangguran untuk orang berusia antara 15 dan 24 tahun adalah 22,3 persen dibandingkan dengan 4,8 persen untuk populasi yang lebih luas.  

Jadi, apa yang salah?, Banyak generasi muda Indonesia yang menyuarakan perjuangan pencarian kerja mereka di platform media sosial seperti X dan TikTok.

Beberapa orang yakin bahwa Gen Z kesulitan di pasar kerja karena mereka dianggap "terlalu selektif dan membutuhkan" dalam hal pekerjaan.

Penelitian yang mensurvei bisnis di Inggris, AS, Kanada, dan Australia menunjukkan bahwa Gen Z sering dianggap "malas – tetapi mudah bergaul" di tempat kerja.

Namun, ada yang berpendapat bahwa stereotip ini berpotensi menimbulkan bahaya di tempat kerja . 

Menteri Ketenagakerjaan Indonesia Ida Fauziyah mengatakan ada kesenjangan antara profesi yang digeluti Gen Z dengan pekerjaan yang dibutuhkan negara.

"Jika kita lihat datanya, lulusan SMA dan SMK lah yang paling banyak menyumbang angka pengangguran, terutama lulusan SMK," ujarnya kepada wartawan.

"Mengapa hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah karena tidak adanya link and match."

Devie Rahmawati, peneliti dari program hubungan masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan pemerintah harus berinvestasi lebih banyak dalam program vokasional yang mengajarkan karir yang penting bagi bangsa.

"Pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sektor-sektor tersebut merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, tetapi mereka kesulitan mencari tenaga kerja," katanya.

Dr Rahmawati mengatakan terlalu banyak anak muda yang mempelajari komunikasi, TI, dan ekonomi. 

"Indonesia memiliki ideologi bahwa untuk menjadi sukses, seseorang harus menempuh pendidikan akademik yang lebih tinggi," katanya.

Ia mengatakan calon mahasiswa enggan mengambil jurusan kejuruan karena dianggap berstatus rendah, meski lebih diminati. 

"Pendidikan kejuruan, yang sebenarnya menyiapkan karpet merah bagi dunia kerja, dianggap sebagai pendidikan kelas dua atau bahkan tiga," katanya.

"Sifat gelar pendidikan tinggi bersifat akademis, yang biasanya mengarahkan Anda ke penelitian atau gelar PhD. 

"Sebaliknya, gelar kejuruan lebih mudah dan cepat diserap dunia kerja."

Saat ini Pemerintah Indonesia telah mulai mengembangkan program pendidikan dan pelatihan kejuruan yang disesuaikan dengan permintaan pasar tenaga kerja.

Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia memperkenalkan Direktorat Jenderal Pendidikan Kejuruan yang baru.

Kemudian, pada tahun 2022, pemerintah memberlakukan peraturan presiden yang mencakup langkah-langkah untuk berkonsultasi dengan industri mengenai program pendidikan dan pelatihan kejuruan.

Namun, meskipun Indonesia sedang menuju ke arah yang benar, Dr Rahmawati mengatakan perlu waktu bagi "negara ini untuk mengejar ketertinggalannya".

Related Posts