Transparansi Suku Bunga Kredit: Aturan Baru OJK dalam Regulasi Suku Bunga Bank
- by ADMIN
- 10:49 AM
viralpediaz.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan persetujuan resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penerbitan aturan transparasi dan publikasi suku bunga dasar kredit (SBDK) bagi bank umum konvensional.
Aturan ini sebenarnya telah didengungkan sejak pertengahan 2023 lalu. Meskipun demikian, aturan turunan dari UU P2SK ini membutuhkan laporan ke DPR komisi XI untuk disahkan. Menurut Dian Ediana Rae Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK aturan tersebut kini hanya tinggal menunggu diterbitkan saja oleh OJK.
"Sudah di-aprove (Oleh DPR) keseluruhan. Tentu setelah ini tidak akan lama. Setelah ini tinggal harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, kemudian aturan akan disampaikan ke publik," ucap Dian seusai rapat antara OJK dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (13/3/2024).
Setelah terbit, Menurutnya aturan tersebut akan memberi dampak terhadap mekanisme pasar yang efisien dalam penentuan suku bunga bank.
"Yang paling penting itu transparan, bank tidak boleh menyembunyikan (kebijakan suku bunga). Ada overhead cost, kelihatan, bangun kompetisi yang sehat," tutur Dian.
Menurut Dian, nantinya nasabah akan teredukasi dan bisa membandingkan sendiri kebijakan bunga masing-masing bank. Dalam aturan tersebut, bank diwajibkan memberikan informasi penerapan kebijakan suku bunganya kepada nasabah mengacu pada standar internasional.
Aturan baru dari OJK ini mencuat di tengah upaya pengendalian margin bunga bersih atau lebih dikenal dengan net interest margin (NIM) perbankan yang dinilai masih tinggi dan akan naik terus.
NIM adalah selisih antara suku bunga kredit yang diberikan perbankan dengan suku bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk simpanan atau pinjaman dana dari pihak lainnya. Makin besar angka NIM tentunya mengindikasikan bahwa potensi keuntungan perbankan dari dana yang disalurkan semakin besar. Sementara, NIM perbankan yang ada di Republik Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dari negara tetangga.
Sepanjang tahun 2021 posisi NIM perbankan Indonesia masih berada di urutan ke-31 secara global atau sebesar 5,06%. Di wilayah se-Asia Tenggara dilansir dari data The Global Economy, posisi NIM perbankan Indonesia duduk di urutan ke-dua mengekor di belakang Kamboja yang memiliki margin bunga bersih tahun 2021 atau sebesar 5,35%.
Penilaian dari Trioksa Siahaan selaku Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) terkait aturan yang akan diterbitkan oleh OJK ini akan efektif untuk menekan NIM perbankan. Dengan belum terbitnya aturan baru dari OJK tersebut, maka kecenderungan NIM perbankan Indonesia akan tetap tinggi.
“Bila masih belum keluar aturan tersebut, artinya bank masih fleksibel dalam mengatur NIM. Sehingga ada potensi bank masih menjaga NIM yang tinggi,” ucap Trioksa Siahaan bulan lalu (22/2/2024).
Berikut 5 Dampak Net Interest Margin (NIM) yang tinggi diperbankan terhadap Nasabah
- Biaya Peminjaman Tinggi: Nasabah yang meminjam dana dari bank mungkin akan dikenakan suku bunga yang lebih tinggi untuk produk pinjaman, seperti kredit usaha, kredit konsumsi, atau hipotek. Hal ini dapat menyebabkan beban finansial yang lebih besar bagi nasabah dalam membayar cicilan pinjaman mereka.
- Pendapatan Rendah dari Investasi: Nasabah yang menempatkan dana mereka di produk investasi yang menawarkan tingkat bunga atau imbal hasil yang rendah, seperti deposito atau rekening tabungan, mungkin akan mendapat keuntungan yang lebih sedikit dari investasi mereka karena bank menghasilkan margin yang tinggi dari selisih bunga.
- Kurangnya Alternatif: Ketika NIM perbankan tinggi, bank cenderung kurang agresif dalam menawarkan produk-produk dengan suku bunga yang lebih kompetitif. Ini bisa membuat nasabah memiliki sedikit opsi untuk mendapatkan layanan perbankan dengan biaya yang lebih rendah atau tingkat keuntungan yang lebih baik.
- Kurangnya Stimulasi Ekonomi: Tingginya NIM dapat menciptakan hambatan bagi pertumbuhan ekonomi karena suku bunga yang tinggi dapat menghambat konsumsi dan investasi. Hal ini dapat mempengaruhi daya beli masyarakat serta aktivitas bisnis secara keseluruhan.
- Keterbatasan Akses Keuangan: Bagi sebagian nasabah yang kurang mampu atau berada di segmen pasar yang kurang diuntungkan, NIM yang tinggi dapat membuat layanan keuangan sulit dijangkau atau tidak terjangkau sama sekali, karena biaya yang tinggi terkait dengan pinjaman dan penyimpanan uang.
Dalam konteks ini, transparansi suku bunga dan upaya pengendalian NIM perbankan yang lebih baik, seperti yang diatur oleh DPR dan OJK, dapat membantu mengurangi beberapa dampak negatif tersebut dengan memastikan bahwa nasabah mendapatkan informasi yang jelas tentang biaya dan keuntungan yang terkait dengan layanan perbankan.
